FROM OUR BLOG

FROM OUR BLOG

FROM OUR BLOG

Gelombang PHK Digital: Ketika Teknologi Jadi Pedang Bermata Dua

Jun 23, 2025

Sejak awal 2025, Indonesia dilanda gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai sektor industri. Data resmi menunjukkan bahwa lebih dari 24.000 pekerja terdampak, terutama di sektor teknologi, startup, dan media penyiaran. Fenomena ini tidak terjadi dalam ruang hampa: ia merupakan gejala kompleks dari transformasi digital, tekanan ekonomi global, dan perubahan perilaku konsumen pasca-pandemi.

Sektor teknologi dan startup adalah yang paling mencolok. Perusahaan global seperti Google, Meta, Amazon, hingga Microsoft melakukan PHK besar-besaran. Di Indonesia, eFishery memangkas 90% dari tenaga kerjanya karena dugaan fraud, Bukalapak menutup layanan fisik, dan startup lain seperti TaniHub, Zenius, Mamikos, JD.ID, bahkan LinkAja melakukan rasionalisasi sumber daya manusia.

PHK ini juga melanda sektor media. Kompas TV, SEA Today, iNews, ANTV, hingga CNN Indonesia melakukan efisiensi dan restrukturisasi, dengan alasan utama penurunan pendapatan iklan dan pergeseran konsumsi masyarakat ke platform digital seperti YouTube, TikTok, dan layanan streaming.

PHK tidak hanya dipicu oleh masalah internal. Berdasarkan pendekatan analisis PESTEL (Politik, Ekonomi, Sosial, Teknologi, Lingkungan, dan Legal), gelombang PHK dapat dijelaskan sebagai berikut:

  • Ekonomi: Penurunan pasar, funding winter, dan kebutuhan efisiensi membuat perusahaan memangkas biaya operasional, termasuk tenaga kerja.

  • Sosial: Perubahan gaya hidup memaksa perusahaan mengubah model bisnis, seperti TaniHub yang beralih dari B2C ke B2B.

  • Teknologi: Adopsi AI dan otomatisasi mempercepat efisiensi, namun mengurangi kebutuhan terhadap pekerjaan manusia.

  • Lingkungan & Hukum: Pandemi dan regulasi ketenagakerjaan memungkinkan perusahaan melakukan PHK atas dasar efisiensi.

Tak hanya lokal, tren ini juga global. Menurut laporan World Economic Forum, 41% perusahaan memproyeksikan pengurangan tenaga kerja akibat otomatisasi dan AI dalam lima tahun ke depan. Cisco, Intel, hingga Tesla melakukan PHK sambil berinvestasi besar dalam bidang kecerdasan buatan dan keamanan siber.

Tantangan: Efek Domino dan Ketimpangan

Kondisi ini menciptakan tantangan struktural baru. Di satu sisi, transformasi digital memang membuka lapangan kerja baru di bidang AI, fintech, dan data. Namun di sisi lain, ribuan orang kehilangan pekerjaan tanpa kesiapan keterampilan baru.

Sementara perusahaan raksasa seperti ByteDance dan pemegang saham Tokopedia mendapat keuntungan, para pesaing lokal, UMKM, pekerja kontrak, dan sektor logistik justru terpuruk. Ketimpangan ini menunjukkan adanya value distribution imbalance dalam era digital.

Gelombang PHK di sektor digital merupakan pertanda bahwa transformasi industri tidak selalu membawa hasil positif bila tidak dikelola dengan prinsip keadilan dan kesiapan ekosistem. Tanpa langkah antisipatif dan dukungan terhadap tenaga kerja yang terdampak, disrupsi ini justru bisa menggerus ketahanan sosial dan ekonomi bangsa.

Indonesia tidak boleh hanya menjadi pasar bagi teknologi, tetapi juga harus membangun kapasitas manusianya sebagai subjek utama dalam revolusi digital ini.

PHK Bukan Lagi Sekadar Efisiensi

PHK di perusahaan digital bukan semata karena kebangkrutan. Raksasa global seperti Tesla, Microsoft, Intel, dan Ciscojuga melakukan pengurangan tenaga kerja secara besar-besaran. Alasannya? Bukan karena tidak laku, tapi karena strategi. Mereka mengganti tenaga manusia dengan teknologi—kecerdasan buatan (AI), cloud computing, dan otomatisasi.

Contohnya, Cisco menggelontorkan USD 28 miliar untuk mengakuisisi Splunk, dan secara paralel memangkas 9.000 lebih karyawannya demi mengalihkan fokus ke keamanan siber dan AI.

Startup Gagal Tumbuh

Di Indonesia, korban utamanya adalah startup—eFishery mem-PHK 90% karyawan, Bukalapak menutup seluruh layanan produk fisik, Pahamify, Zenius, hingga Mamikos melakukan efisiensi tenaga kerja karena tak mampu lagi menjaga ritme pertumbuhan dan tekanan pendanaan.

Sektor media juga tidak luput. Stasiun televisi seperti Kompas TV, CNN Indonesia, dan ANTV harus memangkas ratusan pegawai akibat penurunan iklan dan migrasi audiens ke YouTube, TikTok, dan layanan streaming.

Apa Solusinya? Lihat Negara Lain

Beberapa negara sudah melangkah lebih cepat. Jerman punya program subsidi gaji saat jam kerja dipotong (Kurzarbeit). Singapura meluncurkan SGUnited untuk pelatihan ulang pekerja digital. Perusahaan seperti Google dan Microsoft juga memberi paket transisi dan pelatihan keterampilan digital baru.

Penutup: Siapkah Kita Menavigasi Era Baru?

Teknologi tidak akan berhenti. Namun, apakah kita akan menjadi bangsa yang hanya menonton saat pekerja digantikan algoritma, atau justru bangkit dengan strategi cerdas? Kita butuh bukan hanya regulasi yang responsif, tetapi juga keberanian untuk menciptakan ekosistem digital yang tidak sekadar mengejar efisiensi—melainkan juga keadilan dan keberlanjutan bagi para pekerja.

Sejak awal 2025, Indonesia dilanda gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai sektor industri. Data resmi menunjukkan bahwa lebih dari 24.000 pekerja terdampak, terutama di sektor teknologi, startup, dan media penyiaran. Fenomena ini tidak terjadi dalam ruang hampa: ia merupakan gejala kompleks dari transformasi digital, tekanan ekonomi global, dan perubahan perilaku konsumen pasca-pandemi.

Sektor teknologi dan startup adalah yang paling mencolok. Perusahaan global seperti Google, Meta, Amazon, hingga Microsoft melakukan PHK besar-besaran. Di Indonesia, eFishery memangkas 90% dari tenaga kerjanya karena dugaan fraud, Bukalapak menutup layanan fisik, dan startup lain seperti TaniHub, Zenius, Mamikos, JD.ID, bahkan LinkAja melakukan rasionalisasi sumber daya manusia.

PHK ini juga melanda sektor media. Kompas TV, SEA Today, iNews, ANTV, hingga CNN Indonesia melakukan efisiensi dan restrukturisasi, dengan alasan utama penurunan pendapatan iklan dan pergeseran konsumsi masyarakat ke platform digital seperti YouTube, TikTok, dan layanan streaming.

PHK tidak hanya dipicu oleh masalah internal. Berdasarkan pendekatan analisis PESTEL (Politik, Ekonomi, Sosial, Teknologi, Lingkungan, dan Legal), gelombang PHK dapat dijelaskan sebagai berikut:

  • Ekonomi: Penurunan pasar, funding winter, dan kebutuhan efisiensi membuat perusahaan memangkas biaya operasional, termasuk tenaga kerja.

  • Sosial: Perubahan gaya hidup memaksa perusahaan mengubah model bisnis, seperti TaniHub yang beralih dari B2C ke B2B.

  • Teknologi: Adopsi AI dan otomatisasi mempercepat efisiensi, namun mengurangi kebutuhan terhadap pekerjaan manusia.

  • Lingkungan & Hukum: Pandemi dan regulasi ketenagakerjaan memungkinkan perusahaan melakukan PHK atas dasar efisiensi.

Tak hanya lokal, tren ini juga global. Menurut laporan World Economic Forum, 41% perusahaan memproyeksikan pengurangan tenaga kerja akibat otomatisasi dan AI dalam lima tahun ke depan. Cisco, Intel, hingga Tesla melakukan PHK sambil berinvestasi besar dalam bidang kecerdasan buatan dan keamanan siber.

Tantangan: Efek Domino dan Ketimpangan

Kondisi ini menciptakan tantangan struktural baru. Di satu sisi, transformasi digital memang membuka lapangan kerja baru di bidang AI, fintech, dan data. Namun di sisi lain, ribuan orang kehilangan pekerjaan tanpa kesiapan keterampilan baru.

Sementara perusahaan raksasa seperti ByteDance dan pemegang saham Tokopedia mendapat keuntungan, para pesaing lokal, UMKM, pekerja kontrak, dan sektor logistik justru terpuruk. Ketimpangan ini menunjukkan adanya value distribution imbalance dalam era digital.

Gelombang PHK di sektor digital merupakan pertanda bahwa transformasi industri tidak selalu membawa hasil positif bila tidak dikelola dengan prinsip keadilan dan kesiapan ekosistem. Tanpa langkah antisipatif dan dukungan terhadap tenaga kerja yang terdampak, disrupsi ini justru bisa menggerus ketahanan sosial dan ekonomi bangsa.

Indonesia tidak boleh hanya menjadi pasar bagi teknologi, tetapi juga harus membangun kapasitas manusianya sebagai subjek utama dalam revolusi digital ini.

PHK Bukan Lagi Sekadar Efisiensi

PHK di perusahaan digital bukan semata karena kebangkrutan. Raksasa global seperti Tesla, Microsoft, Intel, dan Ciscojuga melakukan pengurangan tenaga kerja secara besar-besaran. Alasannya? Bukan karena tidak laku, tapi karena strategi. Mereka mengganti tenaga manusia dengan teknologi—kecerdasan buatan (AI), cloud computing, dan otomatisasi.

Contohnya, Cisco menggelontorkan USD 28 miliar untuk mengakuisisi Splunk, dan secara paralel memangkas 9.000 lebih karyawannya demi mengalihkan fokus ke keamanan siber dan AI.

Startup Gagal Tumbuh

Di Indonesia, korban utamanya adalah startup—eFishery mem-PHK 90% karyawan, Bukalapak menutup seluruh layanan produk fisik, Pahamify, Zenius, hingga Mamikos melakukan efisiensi tenaga kerja karena tak mampu lagi menjaga ritme pertumbuhan dan tekanan pendanaan.

Sektor media juga tidak luput. Stasiun televisi seperti Kompas TV, CNN Indonesia, dan ANTV harus memangkas ratusan pegawai akibat penurunan iklan dan migrasi audiens ke YouTube, TikTok, dan layanan streaming.

Apa Solusinya? Lihat Negara Lain

Beberapa negara sudah melangkah lebih cepat. Jerman punya program subsidi gaji saat jam kerja dipotong (Kurzarbeit). Singapura meluncurkan SGUnited untuk pelatihan ulang pekerja digital. Perusahaan seperti Google dan Microsoft juga memberi paket transisi dan pelatihan keterampilan digital baru.

Penutup: Siapkah Kita Menavigasi Era Baru?

Teknologi tidak akan berhenti. Namun, apakah kita akan menjadi bangsa yang hanya menonton saat pekerja digantikan algoritma, atau justru bangkit dengan strategi cerdas? Kita butuh bukan hanya regulasi yang responsif, tetapi juga keberanian untuk menciptakan ekosistem digital yang tidak sekadar mengejar efisiensi—melainkan juga keadilan dan keberlanjutan bagi para pekerja.

Subscribe to our newsletter

Unlock your financial potential with Financia. We provide personalized tools and insights to elevate your financial journey.

Subscribe to our newsletter

Unlock your financial potential with Financia. We provide personalized tools and insights to elevate your financial journey.

Subscribe to our newsletter

Unlock your financial potential with Financia. We provide personalized tools and insights to elevate your financial journey.